Senin, 07 Februari 2011

Krisis Ekonomi AS Berpotensi Menekan Ekonomi Indonesia

Krisis Ekonomi AS Berpotensi Menekan Ekonomi Indonesia

Bisnis-Indonesia, 21 Januari 2008
JAKARTA (Suara Karya): Resesi ekonomi yang kini melanda AS, juga gejolak keuangan di beberapa belahan dunia, tak boleh dipandang remeh. Pemerintah harus waspada dan antisipatif, karena resesi ekonomi AS kemungkinan semakin parah sehingga bisa berdampak hebat terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri.
Di sisi lain, sektor keuangan di beberapa belahan dunia yang lain kini juga bergejolak dan potensial berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Demikian pendapat kalangan ekonom dan anggota DPR terkait bahaya resesi ekonomi AS dan krisis keuangan di beberapa belahan dunia yang lain sekarang ini. Dihubungi terpisah, kemarin, di Jakarta, mereka adalah ekonom International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) Iman Sugema, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis, serta anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis. Mereka sependapat bahwa resesi ekonomi AS amat potensial menggoyahkan optimisme bangsa menyangkut prospek ekonomi nasional dalam menyejahterakan kehidupan rakyat.
Menurut Iman Sugema, ekonomi Indonesia tahun ini sangat rentan oleh volatilitas eksternal, termasuk resesi ekonomi AS. “Tahun ini amat mungkin terjadi krisis finansial di Eropa Timur akibat pecahnya bubble (gelembung) ekonomi di sana,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, Amerika Latin juga potensial diguncang krisis perbankan akibat penyaluran kredit yang telanjur jor-joran. “Kalau ini sampai menular ke Indonesia, ekonomi kita akan tertekan hebat,” ujar Iman.
Menurut dia, Eropa Timur dan Amerika Latin sebenarnya pernah mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Namun, saat itu krisis tersebut lebih karena pengaruh pergolakan politik di masing-masing negara. Tapi kini krisis ekonomi di kedua kawasan amat potensial karena bubble di sektor keuangan sudah amat berlebihan. Artinya, bubble tersebut hampir pasti segera pecah. “Celakanya, kalau negara-negara berkembang yang terkena krisis ekonomi, lembaga-lembaga keuangan internasional cenderung lepas tangan. Akibatnya, krisis yang terjadi bisa sangat parah dan potensial mengimbas ke wilayah lain,” tutur Iman.
Sementara itu, Emir Moeis mengingatkan, cepat atau lambat resesi ekonomi AS bakal berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia. Terlebih lagi resesi ekonomi AS ini potensial kian parah. “Ekonomi AS sangat terpukul oleh harga minyak dunia yang menjulang tinggi. Itu membuat daya beli masyarakat AS menjadi lemah. Tak bisa tidak, itu berdampak terhadap ekspor kita ke AS,” tuturnya.
Karena itu, Emir mewanti-wanti pemerintah agar tak memandang remeh potensi imbas krisis ekonomi AS. Dalam kontek ini, dia meminta pemerintah berkonsentrasi mengendalikan harga kebutuhan pokok masyarakat yang makin meroket.
“Seumur-umur tidak pernah terjadi harga kedelai naik lebih dari seratus persen sehingga tidak terjangkau lagi,” kata Emir memberi contoh.
Emir menekankan, masalah paling mendesak yang perlu dilakukan pemerintah sekarang ini adalah membuat rakyat kembali mudah mendapatkan bahan pangan. Kalau itu tidak bisa segera diwujudkan, katanya, kondisi ekonomi makro yang relatif bagus tak banyak artinya.
“Bosan saya mendengar pemerintah yang selalu berdalih bahwa makro-ekonomi kita bagus, sementara rakyat banyak sangat amat kesulitan. Ekonomi kita hanya bagus di tingkat elite di kota-kota besar. Tapi di kampung-kampung, rakyat sudah sangat menderita. Daya beli mereka sudah sangat jatuh,” kata Emir.
Dia memberi contoh, bahkan warung-warung di pelosok Jakarta kini bertumbangan ke jurang kebangkrutan. Itu sebagai bukti bahwa rakyat kebanyakan sudah tak berbelanja lagi. Sementara lapisan atas justru berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar-pasar modern milik pengusaha besar. “Kita sekarang ini sudah di ambang gejolak sosial. Jadi, pemerintah harus segera membuat daya beli rakyat pulih kembali, terutama menyangkut bahan pangan,” kata Emir.
Sementara itu, Harry Azhar Azis mengaku khawatir sektor produksi di dalam negeri berguncang oleh imbas situasi ekonomi global. Dia mengingatkan, efek domino krisis ekonomi AS maupun belahan dunia yang lain sangat nyata dan berbahaya. “Ancaman global terkait kasus subprime morgage yang membuat struktur ekonomi AS melemah, juga lonjakan harga minyak dunia amat potensial mengimbas terhadap ekonomi nasional,” katanya.
Harry melihat efek domino krisis ekonomi global itu sudah mulai tergambar nyata, yaitu daya beli rakyat di dalam negeri semakin melemah. Sampai-sampai mereka tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan pokok pangan. “Kondisi itu sangat berbahaya karena bisa melahirkan gejolak sosial,” ujar Harry.
Ichsanuddin Noorsy menambahkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor malah kian besar akibat sektor produksi di dalam negeri gagal. “Kenapa gagal, karena investasi mandek. Jadi, ini sinyal bahwa ekonomi kita sekarang ini amat rapuh,” katanya.
Noorsy mengingatkan, penyaluran kredit yang sebagian besar jatuh ke sektor konsumtif juga menjadi sumber kerapuhan ekonomi nasional. Sebab, sektor konsumsi justru telanjur dikuasai asing.
“Perbaikan ekonomi yang berujung pada pengentasan kemiskinan tak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang berorientasi pasar dan investasi asing. Itu berarti, pelan tapi pasti kita harus menumbuhkan kekuatan sendiri dalam mengelola ekonomi kita,” ujar Noorsy.
Dia menekankan, pemerintah harus terus menggerakkan sektor informal yang banyak mengayomi usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) karena banyak menyerap tenaga kerja. UMKM, ujarnya, harus dilindungi dan diberi stimulus maupun kemudahan agar tetap mampu berkembang. (Indra/A Choir)


Bisnis-Indonesia, 21 Januari 2008
JAKARTA (Suara Karya): Resesi ekonomi yang kini melanda AS, juga gejolak keuangan di beberapa belahan dunia, tak boleh dipandang remeh. Pemerintah harus waspada dan antisipatif, karena resesi ekonomi AS kemungkinan semakin parah sehingga bisa berdampak hebat terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri.
Di sisi lain, sektor keuangan di beberapa belahan dunia yang lain kini juga bergejolak dan potensial berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Demikian pendapat kalangan ekonom dan anggota DPR terkait bahaya resesi ekonomi AS dan krisis keuangan di beberapa belahan dunia yang lain sekarang ini. Dihubungi terpisah, kemarin, di Jakarta, mereka adalah ekonom International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) Iman Sugema, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis, serta anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis. Mereka sependapat bahwa resesi ekonomi AS amat potensial menggoyahkan optimisme bangsa menyangkut prospek ekonomi nasional dalam menyejahterakan kehidupan rakyat.
Menurut Iman Sugema, ekonomi Indonesia tahun ini sangat rentan oleh volatilitas eksternal, termasuk resesi ekonomi AS. “Tahun ini amat mungkin terjadi krisis finansial di Eropa Timur akibat pecahnya bubble (gelembung) ekonomi di sana,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, Amerika Latin juga potensial diguncang krisis perbankan akibat penyaluran kredit yang telanjur jor-joran. “Kalau ini sampai menular ke Indonesia, ekonomi kita akan tertekan hebat,” ujar Iman.
Menurut dia, Eropa Timur dan Amerika Latin sebenarnya pernah mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Namun, saat itu krisis tersebut lebih karena pengaruh pergolakan politik di masing-masing negara. Tapi kini krisis ekonomi di kedua kawasan amat potensial karena bubble di sektor keuangan sudah amat berlebihan. Artinya, bubble tersebut hampir pasti segera pecah. “Celakanya, kalau negara-negara berkembang yang terkena krisis ekonomi, lembaga-lembaga keuangan internasional cenderung lepas tangan. Akibatnya, krisis yang terjadi bisa sangat parah dan potensial mengimbas ke wilayah lain,” tutur Iman.
Sementara itu, Emir Moeis mengingatkan, cepat atau lambat resesi ekonomi AS bakal berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia. Terlebih lagi resesi ekonomi AS ini potensial kian parah. “Ekonomi AS sangat terpukul oleh harga minyak dunia yang menjulang tinggi. Itu membuat daya beli masyarakat AS menjadi lemah. Tak bisa tidak, itu berdampak terhadap ekspor kita ke AS,” tuturnya.
Karena itu, Emir mewanti-wanti pemerintah agar tak memandang remeh potensi imbas krisis ekonomi AS. Dalam kontek ini, dia meminta pemerintah berkonsentrasi mengendalikan harga kebutuhan pokok masyarakat yang makin meroket.
“Seumur-umur tidak pernah terjadi harga kedelai naik lebih dari seratus persen sehingga tidak terjangkau lagi,” kata Emir memberi contoh.
Emir menekankan, masalah paling mendesak yang perlu dilakukan pemerintah sekarang ini adalah membuat rakyat kembali mudah mendapatkan bahan pangan. Kalau itu tidak bisa segera diwujudkan, katanya, kondisi ekonomi makro yang relatif bagus tak banyak artinya.
“Bosan saya mendengar pemerintah yang selalu berdalih bahwa makro-ekonomi kita bagus, sementara rakyat banyak sangat amat kesulitan. Ekonomi kita hanya bagus di tingkat elite di kota-kota besar. Tapi di kampung-kampung, rakyat sudah sangat menderita. Daya beli mereka sudah sangat jatuh,” kata Emir.
Dia memberi contoh, bahkan warung-warung di pelosok Jakarta kini bertumbangan ke jurang kebangkrutan. Itu sebagai bukti bahwa rakyat kebanyakan sudah tak berbelanja lagi. Sementara lapisan atas justru berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar-pasar modern milik pengusaha besar. “Kita sekarang ini sudah di ambang gejolak sosial. Jadi, pemerintah harus segera membuat daya beli rakyat pulih kembali, terutama menyangkut bahan pangan,” kata Emir.
Sementara itu, Harry Azhar Azis mengaku khawatir sektor produksi di dalam negeri berguncang oleh imbas situasi ekonomi global. Dia mengingatkan, efek domino krisis ekonomi AS maupun belahan dunia yang lain sangat nyata dan berbahaya. “Ancaman global terkait kasus subprime morgage yang membuat struktur ekonomi AS melemah, juga lonjakan harga minyak dunia amat potensial mengimbas terhadap ekonomi nasional,” katanya.
Harry melihat efek domino krisis ekonomi global itu sudah mulai tergambar nyata, yaitu daya beli rakyat di dalam negeri semakin melemah. Sampai-sampai mereka tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan pokok pangan. “Kondisi itu sangat berbahaya karena bisa melahirkan gejolak sosial,” ujar Harry.
Ichsanuddin Noorsy menambahkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor malah kian besar akibat sektor produksi di dalam negeri gagal. “Kenapa gagal, karena investasi mandek. Jadi, ini sinyal bahwa ekonomi kita sekarang ini amat rapuh,” katanya.
Noorsy mengingatkan, penyaluran kredit yang sebagian besar jatuh ke sektor konsumtif juga menjadi sumber kerapuhan ekonomi nasional. Sebab, sektor konsumsi justru telanjur dikuasai asing.
“Perbaikan ekonomi yang berujung pada pengentasan kemiskinan tak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang berorientasi pasar dan investasi asing. Itu berarti, pelan tapi pasti kita harus menumbuhkan kekuatan sendiri dalam mengelola ekonomi kita,” ujar Noorsy.
Dia menekankan, pemerintah harus terus menggerakkan sektor informal yang banyak mengayomi usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) karena banyak menyerap tenaga kerja. UMKM, ujarnya, harus dilindungi dan diberi stimulus maupun kemudahan agar tetap mampu berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar